Jakarta, Indonesia hari ini berada pada persimpangan sejarah. Kita memiliki kekayaan alam yang berlimpah, pasar domestik yang besar, dan posisi geopolitik yang strategis di Indo-Pasifik. Namun semua itu belum otomatis menjadikan rakyat sejahtera, kata Ir. R. Haidar Alwi, MT dalam acara Diskusi: Strategi dan Kolaborasi Pengelolaan BUMN & Danantara Dalam Mewujudkan Misi Presiden Prabowo Subianto di Wizzme Menteng Jakarta, Kamis (25/09/25).
Presiden Prabowo Subianto mewarisi BUMN dengan aset konsolidasi sebesar Rp10.950 triliun pada tahun 2024, naik dari Rp10.402 triliun pada 2023. Namun dividen yang disetorkan ke APBN hanya sekitar Rp85,5 triliun, atau kurang dari 1% dari total aset. Di sinilah tantangan besar itu muncul: BUMN ibarat raksasa yang tertidur, asetnya luar biasa besar tetapi hasil nyatanya masih kecil, ungkap Haidar.
Untuk itu, dibutuhkan arah baru. R Haidar Alwi menegaskan bahwa BUMN tidak boleh dipandang sebagai mesin laba semata, melainkan instrumen negara untuk memastikan kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Pesan inilah yang menjadi kerangka dasar presentasi strategis ini.
Pilar Pertama: Konsolidasi Aset dan Investasi
Langkah pertama adalah konsolidasi. Sejak Februari 2025, Presiden Prabowo meluncurkan Danantara, superholding yang akan mengelola portofolio saham negara di BUMN strategis: bank-bank besar, Pertamina, PLN, Telkom, hingga MIND ID. Pemerintah menyebut nilai aset yang potensial dikelola Danantara bisa mencapai lebih dari US$900 miliar, dengan modal awal Rp1.000 triliun.
Danantara dirancang menjadi seperti Temasek versi Indonesia, bukan hanya memegang saham tetapi juga mengoptimalkan nilai aset agar produktif. Sementara itu, INA (Indonesia Investment Authority) yang sudah berdiri sejak 2021 berfungsi sebagai platform co-investment dengan mitra global, mengelola aset sekitar US$10 miliar per 2025. Fokusnya ada pada proyek-proyek infrastruktur, energi terbarukan, data center, dan kesehatan.
Keduanya memiliki mandat yang berbeda: Danantara adalah pemilik dan pengelola aset negara, sedangkan INA adalah jembatan investasi internasional. Jika dikelola dengan jelas. keduanya akan saling melengkapi, bukan tumpang tindih. Danantara memastikan aset dalam negeri memberi hasil optimal, INA membawa modal global masuk ke proyek strategis dengan standar tata kelola internasional.
Inilah pilar pertama: membangun mesin konsolidasi aset yang transparan dan kredibel, agar BUMN benar-benar menjadi kekuatan ekonomi bangsa.
Pilar Kedua: Transformasi Energi dan PLN.
Pilar kedua adalah energi, dengan PLN sebagai pusat perhatian. Sebagai perusahaan dengan model single buyer, PLN menguasai transmisi dan distribusi, sekaligus menjadi pembeli tunggal listrik dari pembangkit swasta (IPP). Dalam posisi dominan seperti ini, seharusnya PLN tidak merugi.
Faktanya, tahun buku 2024 PLN mencatat pendapatan Rp545,4 triliun dengan laba bersih Rp17,76 triliun. Semester I 2025, laba berjalan mencapai Rp6,64 triliun. Angka ini positif, tetapi sangat bergantung pada subsidi dan kompensasi tarif dari APBN yang pada 2025 mencapai Rp87,72 triliun. Artinya, rakyat masih menanggung biaya listrik mahal melalui pajak dan subsidi.
Karena itu, transformasi PLN menjadi keharusan. Ada tiga langkah besar:
1. Efisiensi Sistem
Biaya pokok penyediaan listrik (BPP) harus diturunkan. Caranya antara lain renegosiasi PPA (Power Purchase Agreement) yang terlalu mahal, serta modernisasi jaringan listrik nasional agar kehilangan daya bisa ditekan.
2. Diversifikasi Energi
RUPTL 2025-2034 sudah menargetkan penambahan kapasitas 69,5 GW hingga 2034, dengan porsi 76% energi baru terbarukan (EBT). Ini mencakup PLTS 17,1 GW, PLTA 11,7 GW, PLTP 5.2 GW, PLTB 7,2 GW, serta PLTN 500 MW. PLN harus menjadi motor dari agenda ini.
3. Langkah Berani ke Nuklir. Thorium dan Uranium Nuklir adalah pilihan yang tidak bisa dihindari. PLTN pertama 250 MW ditargetkan COD pada 2032 di Bangka Belitung, disusul unit kedua 250 MW pada 2033 di Kalimantan Barat. Selain itu, BAPETEN sudah mengeluarkan persetujuan evaluasi tapak untuk PLTN Thorcon 500 di Pulau Kelasa. Reaktor molten salt berbasis thorium ini memang masih tahap awal secara global, tetapi keberanian untuk memulai adalah tanda bangsa besar.
Indonesia memiliki cadangan thorium sekitar 130 ribu ton dan uranium sekitar 90 ribu ton, tersebar di Bangka Belitung, Kalimantan, dan Sulawesi. Dengan cadangan sebesar ini, kita bisa menjamin suplai energi hingga ratusan tahun.
Dari sisi biaya, kajian BRIN 2025 memperkirakan LCOE PLTN skala besar sekitar 4,9 sen/kWh, sedangkan reaktor modular kecil (SMR) sekitar 6,1 sen/kWh. Bandingkan dengan PLTA skala menengah yang bisa 4.1 sen/kWh, atau PLTS skala besar sekitar 3-5 sen/kWh. Artinya, nuklir kompetitif, apalagi jika mempertimbangkan faktor stabilitas pasokan dan kebutuhan baseload yang tidak bisa dipenuhi PLTS atau PLTB.
PLTA memang murah, tetapi kapasitasnya terbatas oleh lokasi dan kondisi alam. Pumped-storage justru mahal, karena berfungsi sebagai penyimpanan, bukan pembangkit utama. Sementara PLTS murah, tetapi intermiten. Di sinilah nuklir menutup celah, memberikan listrik murah, stabil dan bersih.
Jika Indonesia tidak memulai sekarang, kita akan terus tertinggal. Tapi jika berani melangkah, dunia akan melihat bahwa bangsa ini tidak hanya kaya sumber daya, tetapi juga visioner dalam teknologi.
Pilar Ketiga: Tata Kelola dan Kepercayaan Publik.
Pilar ketiga adalah governance. Tidak ada reformasi BUMN tanpa tata kelola yang bersih. Kasus timah dengan potensi kerugian Rp300 triliun dan kasus Pertamina dengan dugaan kerugian Rp193 triliun membuktikan betapa rapuhnya pengawasan terhadap aset negara.
Haidar Alwi menegaskan, masalah utama BUMN bukan hanya efisiensi, tetapi juga kepercayaan publik. Rakyat harus yakin bahwa BUMN benar-benar bekerja untuk mereka, bukan untuk elite atau kelompok tertentu. Karena itu, agenda tata kelola harus mencakup:
– Pengadaan terbuka dengan standar internasional.
– Audit independen untuk proyek di atas Rp1 triliun.
– Sistem whistleblowing yang aman dan dilindungi hukum.
– Publikasi performa keuangan dan operasional BUMN secara terbuka.
Dengan cara ini, BUMN tidak hanya menjadi perusahaan besar, tetapi juga simbol keadilan sosial.
Jalan Bersama Menuju Kedaulatan.
Tiga pilar ini: konsolidasi aset, transformasi energi, dan tata kelola bersih adalah kerangka besar yang harus dijalankan di era Prabowo. Presiden tidak memerlukan daftar rekomendasi teknis yang kaku. Yang beliau butuhkan adalah narasi yang menyatukan rakyat, birokrat, dan dunia usaha dalam satu tujuan: kedaulatan bangsa.
Haidar Alwi merumuskan pesannya dengan sederhana namun mendalam: “BUMN kuat berarti bangsa berdaulat. Energi murah berarti rakyat berdaulat. Dan kedaulatan rakyat adalah tujuan akhir dari seluruh kebijakan negara.”
Dengan kerangka ini, Prabowo memiliki peluang sejarah untuk mencatatkan dirinya sebagai presiden yang bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga menegakkan pilar kedaulatan ekonomi rakyat.



 
							











